Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendidik Anak Tanggung Jawab Siapa ? Sudut Pandang Sejarah Sekolah

Mendidik Anak | Kekerasan terhadap guru terus terjadi, tidak sedikit media-media mengabarkan peristiwa-demi peristiwa, guru menjadi korban kekerasan orang tua siswa yang umumnya tidak menerima bagaimana cara guru dalam mendidik anak-anaknya, ujung-ujungnya berlabuh di kantor polisi apakah orang tua atau guru yang dilaporkannya. 

Orang tua satu sisi menyerahkan anaknya kesekolah untuk dididik namun kadang orangtua sendiri  tidak siap dan tidak percaya lembaga sekolah dalam mendidik anak-anaknya. 

Terlepas dari latar belakang dan alasan yang menyebabkan hal ini terjadi, saya melihatnya ada komunikasi yang tersendat sehingga mengakibatkan  ketidakharmonisan dan ketidaksaling percayaan antara sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat dalam mendidik anak-anaknya.

Padahal mendidik sebagaimana di sebutkan oleh Manabu sato :"pendidikan bukan jasa tapi pendidikan merupakan tanggungjawab bersama orangtua terhadap anak-anaknya".

Menelisik sejarah sekolah, Roem Tomatimasang menjelaskanya cukup menarik dan jelas, sebagaimana diuraikannya pada buku berjudul "Sekolah itu Candu" Edisi Klasik, yang sampai sekarang sudah cetakan ke 14 dari dua penerbit yang berbeda dan buku yang saya pegang,  merupakan cetakan ke-6 yang diterbitkan oleh INSISTPress (2020).

Menelisik sejarah sekolah, Roem Tomatimasang menjelaskanya cukup menarik dan jelas, sebagaimana diuraikannya pada buku berjudul "Sekolah itu Candu" yang sampai sekarang sudah cetakan ke 14 dari dua penerbit yang berbeda dan buku yang saya pegang,  merupakan cetakan ke-6 yang diterbitkan oleh INSISTPress (2020).

Pada Bab 1 : Sekolah dari Athena ke Cuernavaca , yang secara gamlang dijelaskan hakekat dan filosofi sekolah yang sesungguhnya. Secara asal kata sekolah dari bahasa latin yaitu Skhole, scola, scloae atau Schola yang berarti "waktu luang" atau " waktu senggang", yang dalam bahasa inggris disebut school.

Alkisah orang yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi tempat atau seseorang yang pandai (Mpu) untuk bertanya atau mempelajari hal ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui.

Kegiatan berkunjung ke orang pintar (cendikia) ini disebut skhole,scola, scolae atau schola (school) yang kurang lebih berarti waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar dengan mengunjungi suatu tempat dan menemui seseorang untuk mengajarkan ilmu, wawasan, dan keterampilan hidup kepada anaknya.(Lei sure devoted to learning).

Lama kelamaan, kebiasaan mengisi waktu  luang untuk menuntut ilmu itu, akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum laki-laki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno, kebiasaan itu kemudian diberlakukan bagi putra-putri mereka, terutama anak laki-laki yang diharapkan nantinya menjadi penerus dan pengganti sang ayah.

Karena kesibukan ayah yang menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa merekapun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hak kepada putra-putrinya, karena itu kemudian mereka mengisi waktu luang  pada anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang lebih tahu atau pandai (Mpu) disuatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat dimana mereka sendiri dulu pernah ber-skhole.

Ditempat itulah anak-anak biasanya bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang memang mereka anggap patut untuk di pelajari sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

Sejak saat itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola materna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang diluar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu)

itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini biasa juga disebut sebagai "ibu asuh" atau ibu yang memberikan ilmu pengetahuan ( Alma mater).

Cerita belum berakhir Roem Tomatipasang meneruskannya....Waktu luang terus berlalu, para orang tua makin terbiasa mempercayakan pengasuhan putra-putrinya kepada orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah. 

Dalam waktu lama dengan pola yang semakin teratur pula dan semakin banyak anak yang dititipkan dan harus dilatih akhirnya dibutuhkan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh dan mendidik anak-anak disuatu tempat khusus yang telah disediakan dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu.

Adalah Johannes Amos Comenius, seorang Uskup Agung Moravia, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et origo (peletak dasar) bagi ilmu pendidikan yakni kitab "Didactia magna" , melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan dan mendidik anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keberagaman latarbelakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus.

Pada abad ke 18 Johann Heinrich Pestalozzi  orang ini melangkah lebih jauh dengan lebih terperinci dalam mendidik dengan mengatur pengelompokkan anak-anak asuhannya secara berjenjang, temasuk penjenjangan urutan kegiatan, yang kemudian disebut "mata pelajaran". yang harus mereka lalui secara bertahap naik.

Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut  batasan batasan khas dan baku. Upaya yang kemudian dikenal dengan nama "Sistem Klasikal Pestalozzi". 

Inilah yang menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.

Bicara masalah sekolah bukan milik tradisi bangsa Yunani saja, bahkan sebelum Socrates dan muridnya Plato menyelenggarakan Academia atau Lyceum di Athena, bangsa Tiongkok purba kabarnya juga sudah memulainya pada abad 2000 tahun sebelum Yesus lahir, sehingga tidak akan terkejut dengan hadis Nabiyulloh Muhammad Saw " Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahuanhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China" walau hadis ini disebutkan lemah dan rusak sanadnya. namun hal ini sangat terkenal dan familiar di kalangan muslim.

Kaum Brahmin India juga sudah membangun "sekolah-sekolah Veda" mereka setengah abad sesudahnya, pun nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India (ashram /asrama) dan kemudian juga dari tradisi Arab (madrasah).

Sejarahpun mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola pengasuhan anak dan lembaga persekolahannya sendiri-sendiri. tentu saja dengan ragam, sifat dan sebutan yang berbeda beda.

Kihajar Dewantara menjelaskan dalam tumbuhkembangnya, anak akan berada pada tiga lingkungan yang disebut dengan Tripusat Pendidikan yaitu : 1) pendidikan dilingkungan alam keluarga (schola materna), 2) pendidikan dilingkungan alam sekolah/lembaga pendidikan (alma-mater) dan 3) Pendidikan dilingkungan alam masyarakat.

Kembali kepada Manabu Sato yang merupakan figure sentral gerakan reformasi pendidikan di Jepang dan dunia menyebutkan bahwa ciri "Sekolah Model abad 21" adalah sekolah yang memadu dan mengharmonisasikan hal berikut ini :

  1. Solidaritas dan kerjasama antara orangtua, elemen masyarakat dan Dinas Pendidikan
  2. membangun komunitas belajar/kolegialitas para pendidik
  3. Sekolah membangun jejaring pendidikan baik dengan lembaga/institusi dalam masyarakat dalam maupun luar.
Rumah adalah sekolah utama dan orang tuanyalah pengasuh dan pendidik utama (Scola materna) yang bertugas mendidik dan membimbing anak-anaknya secara langsung, yang kemudian menitipkan tanggungjawabnya kelembaga sekolah namun itu sebatas berbagi peran dan tanggungjawab,sehingga pendidikan merupakan tanggungjawab bersama sekolah, masyarakat, dan orang dewasa.

Sumber :
  • Sato,Manabu .2013.Mereformasi Sekolah. Konsep dan praktek Komunitas Belajar.The International Developmen Center of Japan Inc. Tokyo
  • Tomatimasang.Roem.2020.Sekolah Itu Candu. InsistPress. Yogyakarta.

ADH
ADH "Hebatnya seorang guru karena mendidik, dan rekreasi paling indah adalah mengajar" (KH Maimoen Zubair)

Posting Komentar untuk "Mendidik Anak Tanggung Jawab Siapa ? Sudut Pandang Sejarah Sekolah"

Guru Sumedang (GS) adalah praktisi Pendidikan yang berkomitmen untuk kemajuan dunia pendidikan. Artikel,Video dan atau Gambar di situs www.gurusumedang.com kadang bersumber dari media lainnya,GS akan berupaya menuliskan sumbernya, dan HAK CIPTA sepenuhnya dipegang media tersebut.