Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Restitusi | Cara Menanamkan Disiplin Peserta Didik

Restitusi | Cara Menanamkan Disiplin Peseta Didik. Tulisan ini adalah saduran lengkap tentang Restitusi sebagai cara efektif dalam menanamkan disiplin positif pada peserta didik yang diambil dari modul 1.4 Budaya Positf Paradigma dan visi Guru Penggerak.

Modul 1.4 budaya positif  (2022) ditulis oleh :

  • Andri Nurcahyani, S.Pd, M.S
  • Diah Samsiati Rajasa, M.Sc
  • Dr. Murti Ayu Wijayanti, M.Pd.

Dan hak cipta berada di kementrian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi Dirjen GTK Direktorat Kepala sekolah, pengawas sekolah dan tenaga kependidikan.

Restitusi Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi peserta didik dalam memperbaiki kesalahan mereka, sehingga peserta didik bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)  Dan restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan peserta didik untuk mencari solusi untukmasalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).  Restitusi membantu dan mendorong peserta didik secara internal menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun peserta didik menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.   Melalui pendekatan dan tahapan restitusi, ketika pesrta didik berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya.

Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi peserta didik dalam memperbaiki kesalahan mereka, sehingga peserta didik bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)

Dan restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan peserta didik untuk mencari solusi untukmasalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Restitusi membantu dan mendorong peserta didik secara internal menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun peserta didik menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. 

Melalui pendekatan dan tahapan restitusi, ketika pesrta didik berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya.

Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang
yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William
Glasser tentang solusi menang-menang.

Terdapat peluang besar bagi peserta didik untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Peserta didik perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. 

Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, Peserta didik akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya.

Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

Dalam pendekatan restitusi, ketika pesreta didik berbuat salah, guru tidak mengarahkan
untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian
yang timbul, atau sekedar meminta maaf. 

Karena kalau fokusnya kesana, maka peserta didik yang berbuat salah akan fokus pada tindakan yang bersifat eksternal yaitu untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, bukannya yang lebih bersifat internal yaitu pada upaya perbaikan diri. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega karena seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.

Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.

Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap
ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi
pribadi yang lebih kuat.

Pendekatan restitusi sebenarnya juga berhubungan dengan usaha untuk menebus
kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan.
Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk
melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. 

Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.

Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan,
mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa
depan untuk menjadi orang yang lebih baik.

Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. 

Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan.

Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri
mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang lain.

Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai berpikir
tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang
menjadi korban.

Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru
memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya
tidak melakukannya. 

Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. 

Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”. 

Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan
untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi
yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi,
dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. 

Semua orang pasti pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka...”

Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri 

Dalam proses restitusi kita akan menemukan adanya ketidakselarasan antara tindakan peserta didik yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. 

Untuk membimbing proses pendampingan dan pemulihan diri, guru bisa menggali dan bertanya pada mereka :
  • Kamu mau menjadi orang seperti apa?
  • Kamu akan merasa dan terlihat seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?
  • Apa yang kamu percaya tentang bagaimana seharusnya memperlakukan orang lain?
  • Bagaimana kamu mau diperlakukan oleh orang lain ketika kamu berbuat salah? Apa nilai yang diajarkan orangtuamu dan keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu yakin dan memegang nilai ini?
  • Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya dan inginkan ? Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat dan merasakan rasa bersalah di wajah peserta didik , maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu, kita kan manusia tempatnya salah dan lupa”.
Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. 
Murid tidak akan berbohong pada guru.

Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami
dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa setiap orang memiliki
kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga ketika murid
melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan apa yang sedang mereka coba
penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.

Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka
mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan adanya kebutuhan
cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. 

Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.

Restitusi diri adalah cara yang paling baik

Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk
mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser
menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak bahagia
akan mengevaluasi orang lain.

3 Tahap Evaluasi Diri:

  1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu
  2. Kesalahan yang saya lakukan adalah
    • Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan
    • Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat
    • Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan
    • Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu
  3. Besok lagi saya akan
    • Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu
    • butuhkan
    • Saya akan bicara lebih lambat
    • Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan saya
    • Menyampaikan pemahaman saya padamu
Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol dirinya dengan
lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.

Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri, maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. 

Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan

Dalam proses restitusi diri, maka peserta didik akan menyadari dia sedang menjadi orang yang seperti apa, yang fokus pada penguatan karakter. 

Ketika guru membimbing peserta didik untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang telah kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok. 

Dan kamu boleh saja minta maaf, tetapi orang akan lebih senang mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi.

Restitusi menguatkan

Bisakah momen ketika peserta didik melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa yang dimaksud dengan kalimat kita bisa lebih kuat manakal kita belajar dari kesalahan? 

Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. namun menyadari apa yang bisa peserta didik ubah, dan benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?

Restitusi fokus pada solusi

Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas peserta didik dengan mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah.

Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya

Dalam praktik pendidikan kita umumnya yang seringkali memisahkan anak-anak dari
kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan
mendengar dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu
diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.

Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka
jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan mereka tidak
belajar nilai-nilai kebajikan. 

Kalau mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka mereka akan putus hubungan dengan kita. Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. 

Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.

Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution, Third Edition, Diane Gossen, 2008.

Sobat GS bisa lanjut pada contoh -contoh kasus penerapan segitiga restitusi :
Demikian tentang Restitusi, cara menanamkan disiplin peserta didik, semoga bermanfaat


ADH
ADH "Hebatnya seorang guru karena mendidik, dan rekreasi paling indah adalah mengajar" (KH Maimoen Zubair)

Posting Komentar untuk "Restitusi | Cara Menanamkan Disiplin Peserta Didik"

Guru Sumedang (GS) adalah praktisi Pendidikan yang berkomitmen untuk kemajuan dunia pendidikan. Artikel,Video dan atau Gambar di situs www.gurusumedang.com kadang bersumber dari media lainnya,GS akan berupaya menuliskan sumbernya, dan HAK CIPTA sepenuhnya dipegang media tersebut.