Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merdeka Belajar & Miskonsepsi Belajar

Merdeka Belajar & Miskonsepsi belajar | Merdeka !  76 tahun Indonesia merdeka, nyatanya masih banyak hal yang belum merdeka, lho apa iya, nih buktinya mas mentri  Pendidikan dan Kebudayaan dan ristek melontarkan program Merdeka Belajar, berarti ada yang belum merdeka dong !? memang ada apa dengan para siswa, guru dan sistem pendidikan di Indonesia ? sehingga belum merdeka !
Merdeka Belajar & Miskonsepsi belajar ; merdeka !  76 tahun Indonesia merdeka, nyatanya masih banyak hal yang belum merdeka, lho apa iya, nih buktinya mas mentri  Pendidikan dan Kebudayaan dan ristek melontarkan program Merdeka Belajar, berarti ada yang belum merdeka dong !? memang ada apa dengan para siswa, guru dan sistem pendidikan di Indonesia ? sehingga belum merdeka !
Berbicara kemerdekaan pendidikan di Indonesia akan panjang dan banyak sekali variabelnya baik itu letak geografis, sumber daya,soasial ekonomi, pemerataan dan keadilan sosial pendidikan dan lain sebagainya. 

Namun yang akan saya angkat disini adalah tentang paradigma dan mind set, sebab potensi besar dan serba lengkap dan sempurna walau penting namun bisa jadi bukan merupakan unsur utama, jika mindsetnya yang salah tentang belajar itu sendiri.

Tidak sedikit peserta didik dengan segala keterbatasan dirinya, nun jauh ditempat terpencil dengan fasilitas yang serba kekurangan justru muncul dipermukaan dengan prestasi dan nilai-nilai yang besar. 

Karena nilai yang dimilikinya membawanya keluar dari zona keterbatasan, merdeka dari kungkungan yang membatasinya dan lompat melampaui apapun rintangan yang membelenggunya.
Kemerdekaan dirinyalah yang akan membawanya terbang tinggi

Kemdikbud menelaah beberapa Miskonsepsi tentang belajar yang mempengaruhi guru dan peserta didik serta satuan pendidikan atau bahkan lembaga pendidikan dalam pola, cara serta proses belajar dan mengajar yang terjadi selama ini.

Merdeka belajar & Miskonsepsi belajar

  1. Belajar hanya untuk ujian, siapapun tidak bisa membantahnya  ya kan, hidup memang ujian dan sekolah juga pastinya untuk naik level ke jenjang berikutnya harus ujian, namun pemahaman kita tentang ujian dan hanya mengejar target nilai angka-angka dan  diujianlah yang menjadi tujuan akhir yang harus diluruskan, dari hanya mengejar target akhirlah lahirnya kebiasaan bahwa belajar bisa dikejar dengan SKS, sistem kebut semalam. Upaya habis-habisan menguasai pelajaran pada malam menjelang hari ujian. Ujian selesai, belajar pun usai. Pelajaran tak diingat lagi.
    Belajar hanya untuk ujian, siapapun tidak bisa membantahnya  ya kan, hidup memang ujian dan sekolah juga pastinya untuk naik level ke jenjang berikutnya harus ujian, namun pemahaman kita tentang ujian dan hanya mengejar target nilai angka-angka dan  diujianlah yang menjadi tujuan akhir yang harus diluruskan kenapa karena dari hanya mengejar target akhirlah jadinya lahir kebiasaan bahwa belajar bisa dikejar dengan SKS, sistem kebut semalam. Upaya habis-habisan menguasai pelajaran pada malam menjelang hari ujian.Ujian selesai, belajar pun usai. Pelajaran tak diingat lagi
  2. kendali belajar pada guru ; tidak dipungkiri kendali pembelajaran sulit sekali mengubah teacher center menjadi student center, cek bagaimana mengetahui apakah pembelajaran sobat guru semua sudah berpusat pada siswa atau berpusat pada guru di TBLA (transkrip base lesson analysis)  atau DISINI. Yang terjadi saat ini umumnya karena kinerja pelaku dan manajemen pendidikan ditentukan oleh hasil ujian murid,maka proses belajar pun dikendalikan oleh guru.  Guru dominan  sepenuhnya dalam menentukan strategi, aktivitas dan asesmen belajarnya. Guru menjadi subyek, pelajar menjadi obyek. Siswa sebagai obyek yang harus mengikuti apapun yang sudah ditentukan, tugas anak hanya menjalankan perintah gurunya, kemandirian anak tidak ada karena anggapan anak hanyalah kertas kosong (sehingga anak tidak merdeka dalam menentukan belajarnya) , anak tidak bebas dalam memilih apa yang sesuai dengan pikiran dan perasaanya, proses pembelajaran yang tidak mengakomodir kodrat anak dan potensi (bakat) dan keadaan hidup anak didik, Belajar menjadi milik guru. Karena tidak dilibatkan, murid tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses belajar. Ketika sasaran belajar tidak tercapai, seringkali guru yang lebih cemas dibandingkan pelajarnya. Padahal belajar harusnya milik pelajar, sehingga sudah sepatutnya guru melibatkan pelajar dalam mengatur proses belajar. 
  3. pelajar mempunyai kebutuhan dan minat yang sama, semuanya satu warna,  Guru bukan mengajar murid, dan seperti berhadapan dengan benda mati yang tidak memiliki keinginan dan sumber daya apapun, guru hanya mengajar materi pelajaran. sehingga, guru tidak perlu mengenal apalagi memahami kebutuhan dan minat belajar para siswanya yang beragam. Hak-hak kesempatan anak untuk menuntut pelajaran yang sesuai dengan keinginan (minat) dan bakat masing-masing tidak terfasilitasi. Guru menggunakan 1 rumus jitu untuk kelas mana pun, siapa pun pelajarnya. Padahal membutuhkan proses  diferensiasi pengalaman belajar sesuai minat, cara belajar dan ketersediaan sumber belajar di sekitarnya.
  4. belajar itu menghapal dan menggunakan rumus ,  karena orientasi belajar hanya untuk nilai tinggi di ujian mendorong para guru mengajar dengan cara yang cepat dan memastikan peserta didik bisa mengerjakan ujian dengan benar dan cepat. akibatnya pada cara belajar nya menjadi menghafal dan bagimana terampil menggunakan rumus. 12 tahun, peserta didik belajar dengan cara tersebut. akibatnya peserta didik hanya mempunyai keterampilan yang khas, yaitu terampil mengerjakan ujian. Padahal banyak tantangan dan permasalahan kehidupan yang beragam dan membutuhkan solusi unik dan kreatif. sehingga dibutuhkan sentuhan sentuhan kreatif dan inovatif bagaimana siswa belajar memecahkan beraneka ragam permasalahan kehidupan yang akan dihadapinya.
    belajar itu menghapal dan menggunakan rumus ,  karena orientasi belajar hanya untuk nilai tinggi di ujian mendorong para guru mengajar dengan cara yang cepat dan memastikan peserta didik bisa mengerjakan ujian dengan benar dan cepat. akibatnya pada cara belajar nya menjadi menghafal dan bagimana terampil menggunakan rumus. 12 tahun, peserta didik belajar dengan cara tersebut. akibatnya peserta didik hanya mempunyai keterampilan yang khas, yaitu terampil mengerjakan ujian. Padahal banyak tantangan dan permasalahan kehidupan yang beragam dan membutuhkan solusi unik dan kreatif. sehingga dibutuhkan sentuhan sentuhan kreatif dan inovatif bagaimana siswa belajar memecahkan beraneka ragam permasalahan kehidupan yang akan dihadapinya.

  5. penilaian belajar sepenuhnya wewenang guru ; Karena tujuan dan cara belajar ditentukan oleh guru maka sewajarnya penilaian belajar ditentukan juga oleh guru. Guru yang tahu benar dan salah. Guru yang layak menentukan nilai dari jawaban murid. Seringkali kriteria dan cara penilaian hanya diketahui oleh guru. Pelajar diharapkan menerima begitu saja hasil penilaian, meski tidak paham maknanya. Pelajar tidak tahu perbedaan antara mendapat skor 8 dengan skor 9. Pelajar tidak mendapat informasi tentang apa konsep yang perlu diperkuat atau cara belajar yang harus diperbaiki. Padahal pelajar pun perlu belajar melakukan penilaian. Dalam kehidupan, pelajar dituntut bisa membedakan benar dan salah atau baik dan buruk.

Lalu kalau begitu bagaimana yang dimaksud merdeka belajar, bagaimana pola dan proses pembelajarannya ? 


ADH
ADH "Hebatnya seorang guru karena mendidik, dan rekreasi paling indah adalah mengajar" (KH Maimoen Zubair)

Posting Komentar untuk "Merdeka Belajar & Miskonsepsi Belajar"

Guru Sumedang (GS) adalah praktisi Pendidikan yang berkomitmen untuk kemajuan dunia pendidikan. Artikel,Video dan atau Gambar di situs www.gurusumedang.com kadang bersumber dari media lainnya,GS akan berupaya menuliskan sumbernya, dan HAK CIPTA sepenuhnya dipegang media tersebut.